Nostalgia Nasgor Tek-tek

Beberapa waktu lalu setelah nonton film Aruna dan Lidahnya, jadi terpikir nulis tentang makanan, nih.

Buat sebagian orang, makanan hanya punya arti literally. Maksudnya, ya sesuai fungsinya, sesuatu yang kita masukkan ke dalam tubuh supaya kita tetap bisa bertahan hidup.

Buat sebagian lain, makanan punya arti yang lebih penting dari itu. Ada yang menjadikannya sebagai gaya hidup, ada yang menganggap makanan adalah seni, ada juga yang membuatnya sebagai sumber pendapatan.

Untuk kamu sendiri, makanan punya arti apa?

Kalau aku, makanan lebih dari sekedar fungsinya. Iya, kita memang harus makan supaya tubuh tetap ada energi untuk beraktivitas dan lainnya, tapi makanan lebih dari itu. Kadang, makanan membawaku ke satu emosi, kenyamanan dan memori tentang masa kecilku.

Misalnya, nasi goreng. Sejak kecil, aku suka banget makan nasi goreng. Kayaknya itu jadi pilihan teraman kalau coba makan di tempat baru, deh. Tapi yang paling aku suka itu nasi goreng tek-tek (well, orang lain mungkin ada yang bilang nasi goreng dok-dok atau nasi goreng gerobakan). Kesukaan ini bikin aku jadi semacam nasgor tek-tek hunter, kadang rasanya ingin berhenti di pinggir jalan kalau lagi nemu tukang nasgor yang masak (apalagi kalau aromanya mampir di hidung, hmm). Ada satu nasgor tek-tek langganan masa kecilku yang jadi favorit, sampai sekarang, aku gak pernah bisa nyicipin nasgor tek-tek seenak itu. Aku dan kembaranku menyebutnya, “Nasi Goreng Pak Terbaik” karena hingga kini belum ada yang menandingi rasanya.

Apa sih yang spesial dari nasgor tek-tek? Padahal kan, nggak terlihat sophisticated, yang ada kesan yang ditampilkan sederhana dan sepertinya, bukan jadi pilihan utama (kecuali untuk yang nggak mau ribet).

Menurutku yang menjadikan nasgor tek-tek itu spesial karena ada kejutan tidak terduga tiap kali nyoba yang baru. Kesannya simpel sih memang, bahannya pun sederhana dan nggak ribet, tapi, nasgor tek-tek ini susah di-recreate kalo di rumah. Semacam ada kekhasan yang dibawa di tiap porsinya.

Aku suka bau harum bumbu jadi yang ditumis tukang nasgor waktu dia mulai masak. Campuran dari bawang merah, bawang putih dan entah bumbu apa lagi yang menggoda hidung dan menerbitkan air liur. Lalu, beberapa siung bawang putih yang digeprek dan dimasukkan ke dalam tumisan, makin memperkuat aromanya. Dua detik kemudian, sepiring nasi dan potongan bakso dimasukkan, beberapa sendok ulekan cabe dan campuran garam dan mecin, satu atau dua tuangan kecap manis, dan semuanya digongseng supaya merata. Tidak berapa lama, kecap ikan dan minyak wijen diceprit malu-malu, menjadikan nasgor ini ada hint aroma itu meski nggak menutup rasa lainnya.

Itu sih, nasgor tek-tek langganan sekarang, makanya masih kuingat betul rasa dan proses masaknya.

Gimana dengan Nasgor Pak Terbaik? Yang kuingat darinya adalah, kegembiraanku dan kembaranku saat mendengar bunyi sutil yang dipukulkan ke wajannya penanda ia datang mendekat ke kompleks rumahku, membuatku menyadari aku sebentar lagi bisa makan nasgor yang unik nan enak itu (karena rasanya beda banget dengan nasgor rumahan yang dimasak Oma, hehe), senyum Pak Terbaik saat melihat kami lari-lari ke pagar dan memesan nasgor, teriakan Omaku yang selalu bilang “pesennya jangan pedes-pedes, ya! Nanti sakit perut!” (memang dari kecil aku udah suka banget sama makanan pedes), dan masih kuingat dengan jelas, harganya yang hanya Rp 2.500,- seporsi. Sementara sekarang, harga nasgor tek-tek langgananku Rp 13.000,- seporsi. Lumayan lah ya untuk kurun waktu 18-20 tahun. Nggak segila kenaikan harga properti atau uang sekolah sih, hehe.

Masih banyak memori dan emosi yang dibawa banyak makanan lainnya, tapi tulisanku kali ini khusus didedikasikan untuk nasgor, my ultimate comfort food.

Kamu sendiri, ada cerita apa dengan makanan?

Leave a comment