Nostalgia Nasgor Tek-tek

Beberapa waktu lalu setelah nonton film Aruna dan Lidahnya, jadi terpikir nulis tentang makanan, nih.

Buat sebagian orang, makanan hanya punya arti literally. Maksudnya, ya sesuai fungsinya, sesuatu yang kita masukkan ke dalam tubuh supaya kita tetap bisa bertahan hidup.

Buat sebagian lain, makanan punya arti yang lebih penting dari itu. Ada yang menjadikannya sebagai gaya hidup, ada yang menganggap makanan adalah seni, ada juga yang membuatnya sebagai sumber pendapatan.

Untuk kamu sendiri, makanan punya arti apa?

Kalau aku, makanan lebih dari sekedar fungsinya. Iya, kita memang harus makan supaya tubuh tetap ada energi untuk beraktivitas dan lainnya, tapi makanan lebih dari itu. Kadang, makanan membawaku ke satu emosi, kenyamanan dan memori tentang masa kecilku.

Misalnya, nasi goreng. Sejak kecil, aku suka banget makan nasi goreng. Kayaknya itu jadi pilihan teraman kalau coba makan di tempat baru, deh. Tapi yang paling aku suka itu nasi goreng tek-tek (well, orang lain mungkin ada yang bilang nasi goreng dok-dok atau nasi goreng gerobakan). Kesukaan ini bikin aku jadi semacam nasgor tek-tek hunter, kadang rasanya ingin berhenti di pinggir jalan kalau lagi nemu tukang nasgor yang masak (apalagi kalau aromanya mampir di hidung, hmm). Ada satu nasgor tek-tek langganan masa kecilku yang jadi favorit, sampai sekarang, aku gak pernah bisa nyicipin nasgor tek-tek seenak itu. Aku dan kembaranku menyebutnya, “Nasi Goreng Pak Terbaik” karena hingga kini belum ada yang menandingi rasanya.

Apa sih yang spesial dari nasgor tek-tek? Padahal kan, nggak terlihat sophisticated, yang ada kesan yang ditampilkan sederhana dan sepertinya, bukan jadi pilihan utama (kecuali untuk yang nggak mau ribet).

Menurutku yang menjadikan nasgor tek-tek itu spesial karena ada kejutan tidak terduga tiap kali nyoba yang baru. Kesannya simpel sih memang, bahannya pun sederhana dan nggak ribet, tapi, nasgor tek-tek ini susah di-recreate kalo di rumah. Semacam ada kekhasan yang dibawa di tiap porsinya.

Aku suka bau harum bumbu jadi yang ditumis tukang nasgor waktu dia mulai masak. Campuran dari bawang merah, bawang putih dan entah bumbu apa lagi yang menggoda hidung dan menerbitkan air liur. Lalu, beberapa siung bawang putih yang digeprek dan dimasukkan ke dalam tumisan, makin memperkuat aromanya. Dua detik kemudian, sepiring nasi dan potongan bakso dimasukkan, beberapa sendok ulekan cabe dan campuran garam dan mecin, satu atau dua tuangan kecap manis, dan semuanya digongseng supaya merata. Tidak berapa lama, kecap ikan dan minyak wijen diceprit malu-malu, menjadikan nasgor ini ada hint aroma itu meski nggak menutup rasa lainnya.

Itu sih, nasgor tek-tek langganan sekarang, makanya masih kuingat betul rasa dan proses masaknya.

Gimana dengan Nasgor Pak Terbaik? Yang kuingat darinya adalah, kegembiraanku dan kembaranku saat mendengar bunyi sutil yang dipukulkan ke wajannya penanda ia datang mendekat ke kompleks rumahku, membuatku menyadari aku sebentar lagi bisa makan nasgor yang unik nan enak itu (karena rasanya beda banget dengan nasgor rumahan yang dimasak Oma, hehe), senyum Pak Terbaik saat melihat kami lari-lari ke pagar dan memesan nasgor, teriakan Omaku yang selalu bilang “pesennya jangan pedes-pedes, ya! Nanti sakit perut!” (memang dari kecil aku udah suka banget sama makanan pedes), dan masih kuingat dengan jelas, harganya yang hanya Rp 2.500,- seporsi. Sementara sekarang, harga nasgor tek-tek langgananku Rp 13.000,- seporsi. Lumayan lah ya untuk kurun waktu 18-20 tahun. Nggak segila kenaikan harga properti atau uang sekolah sih, hehe.

Masih banyak memori dan emosi yang dibawa banyak makanan lainnya, tapi tulisanku kali ini khusus didedikasikan untuk nasgor, my ultimate comfort food.

Kamu sendiri, ada cerita apa dengan makanan?

That Childhood Dream

Saras punya cita-cita yang dipendamnya sejak kecil.

Bukan cita-cita yang aneh, aku rasa banyak orang yang memimpikan hal yang sama sepertinya.

Cita-cita Saras adalah…

Mengunjungi Eropa.

Sebagai anak dari keluarga yang sederhana dibandingkan sanak saudaranya yang berkelimpahan dan mudah mendapatkan akses untuk pergi ke luar negeri, Saras selalu mengimpikan bisa menjejak tanah Benua Biru itu.

Saat orangtuanya masih berlangganan koran, ia sering memisahkan bagian iklan hanya untuk mencari iklan tour (yang dulu biayanya masih memakai harga dolar sebelum ada peraturan dari pemerintah).

Sejak ia mengenal internet, sering kali ia browsing untuk mengetahui dan membayangkan lebih jauh seperti apa Eropa. Ia mengunjungi website penyedia jasa perjalanan untuk membayangkan akan membeli paket tur ke Eropa, pun saat main ke mall, dia senang mampir dan berhenti lama-lama di booth tour untuk memandangi itinerary dan biaya.

Semua itu terasa jauh sekali dan tidak tercapai, rasanya seperti pungguk merindukan bulan. Karena selain harga paket tur itu mahal, untuk mendapatkan visa Schengen kita juga harus punya tabungan dengan nominal yang cukup fantastis, bagi seseorang yang bahkan untuk makan di restoran fancy saja masih harus memilih dan menghitung sebelum memesan.

Waktu berjalan dan perlahan mimpi itu meredup meski masih selalu ada di sana, menanti untuk kemudian diwujudkan.

Belasan tahun kemudian, mimpi itu tidak begitu terasa jauh. Ibarat kata dulu rasanya seperti Jakarta-Jogja, kali ini terasa seperti Jakarta-Bandung. Tidak terlalu dekat, tapi masih bisa dicapai.

Saat itu Saras Sudah bekerja di sebuah bank swasta yang cukup dikenal. Bertahun-tahun kerja, Saras menggunakan uangnya dengan kurang bijak sehingga seharusnya mimpi yang dapat dicapai dengan mudah, harus menunggu kembali.

Setahun setelah keadaan membaik, akhirnya Saras semakin membulatkan tekad dan mulai membuat rencana yang terinci untuk mewujudkan impiannya. Ia browsing website tour dan tidak hanya sekadar untuk membayangkan, namun untuk memilih akan menggunakan jasa tour yang mana.

“Iya, mbak, aku pake tour dan nggak jalan sendiri soalnya aku kan masih usia produktif banget, selain itu nominal tabungan masih pas-pasan. Itu juga aku masih deg-degan karena belum pernah ke negara bervisa, tapi aku nekad aja dan penuhi semua yang dibutuhkan untuk apply visa, itu juga aku dikasih tahu sama tournya.” Ujarnya padaku.

Akhirnya, setelah menanti hampir dua puluh tahun, Oktober 2019 Saras berhasil pergi ke Eropa. Ia mengunjungi Belanda, Belgia, Prancis, Swiss dan Italia. Beberapa kota yang ia sambangi adalah Amsterdam, Volendam, Brussels, Paris, Colmar, Lucerne dan Roma.

“Mbak, tahu nggak, begitu sampai di Schipol, aku nangis Sambil cubit-cubit lenganku. Rasanya sakit beneran. Dulu aku udah pernah mimpi kayak gitu juga tapi kebangun, untungnya kali ini kejadian beneran. Peserta tur lainnya sampai bingung lihat aku nangis hehe” tambahnya lagi sambil nyengir.

“Rasanya dadaku sesak dan perasaan haru, bahagia, senang membuncah jadi satu. Tenggorokanku tercekat dan aku susah napas. Aku gak percaya akhirnya bisa mewujudkan mimpi aku dari kecil ini. Aku inget dulu Oma waktu habis ditraktir Ipo pergi ke Eropa, pulangnya bawa coklat sekoper dan aku kegirangan. Kali ini rasa girangku jauh melebihi semua perasaan itu. Aku bersyukur banget bisa pergi dan waktu usiaku masih muda juga jadi masih bisa jalan-jalan jauh.”

“Ya ampun, terus pas ke Colmar, gila itu cantik bukan main! Aku abadikan lewat IGS sih, supaya bisa aku lihat sewaktu-waktu kalau lagi males kerja, buat penyemangat hehe. Soalnya bucket list aku masih banyak sih.”

“Cuma emang dingin sih, aku pake baju beberapa lapis soalnya perginya kan pas menjelang akhir tahun. Aku bawa boncabe juga sama sambel biar makan tetep enak. Dan budgetku aku habisin soalnya aku tau belum tentu akan ke sana lagi dalam jangka waktu dekat. Harus banyak nabung nih, Mbak, untuk destinasi lain dan untuk tabungan jaga-jaga.”

Mata Saras berkilau, raut wajahnya tiba-tiba seperti disinari cahaya. Jelas terlihat kebahagiaan terpancar dari wajahnya, tanpa ditutup-tutupi. Semangat dan kebahagiaannya menular dengan cepat. Aku bisa merasakannya.

“Dulu aku boros banget, Mbak, setelah jalan-jalan ke Eropa ini aku bisa menahan diri untuk nggak terlalu hedon lagi karena sadar bucket list masih banyak hihi. Doakan ya, mungkin dua tahun lagi aku mau ke New York atau Skandinavia.” tutupnya.

Ya, Saras adalah aku setahun setengah lagi. Aku menggunakan mesin waktu untuk mengunjunginya, ingin tahu apa yang dirasakannya karena Sudah tidak sabar menanti sekian lama.

Apakah dengan aku mengunjunginya, semua perasaanku saat mencapai mimpiku itu akan berubah?

Aku tidak tahu.

Kita lihat saja nanti.

Setahun sebulan lagi.

Life Goes On #2

Wah, udah lebih dari tiga tahun sejak terakhir aku update blog ini.

Semenjak pekerjaan semakin sibuk and other things interfered as well, keinginan dan skill menulis semakin lama jadi dikesampingkan tanpa sengaja.

Life is always about priorities, though, tapi melihat ada orang lain yang berhasil mengerjakan hobinya di samping pekerjaan dan kegiatan lain membuatku tersentil dan berpikir, “kenapa aku nggak bisa?”

Untungnya setelah sekian tahun lupa dengan blog ini (not entirely forget sih karena linknya dipasang di bio instagram, hehe), aku masih ingat email dan password yang aku gunakan. Soalnya sayang, dulu udah pernah nulis cukup banyak post di sini sih.

Well, without further ado, semoga kali ini bisa lebih rajin update blognya, meskipun isinya nggak akan jauh-jauh dari pandanganku soal hidup sehari-hari. Kali ini, aku ingin melatih skill menulis yang quite long forgotten itu.

Selamat menikmati hidup! 🙂

Melodia di Vita – A Piano Concert by Alessandro Martire

Alessandro Martire is a young Italian pianist and composer. He’s studying music and piano at Music Academy Genoa and a Master Class with Giusto Franco. In 2012 he studied at the American College Music in Boston, Berklee in the branch composition new age.

From minimalism by Ludovico Einaudi to classical crossover of David Lanz, his compositions are the expression of a musical sensibility which originates from the classical tradition and contemporary elements using melodies and harmonies evocative,very catchy.

There’s no definition for his music. You can call it New Age, classical crossover, contemporary, alternative and other adjectives but in the end it always come down to this: Alessandro Martire plays Alessandro Martire music. 

So last Wednesday (13/05) I got the chance to enjoy a piano solo concert by a young, very talented and handsome (I have to emphasize this one J ) Italian pianist and composer named Alessandro Martire at Istituto Italiano di Cultura, Menteng.

After such an exhausting day, sitting all day long as an usher for an autoshow which is held by my company, I hurried myself to this venue as it is quite far from my office to IIC. Later I realised I was lucky that I arrived way earlier than I expected because around seven p.m. (the invitation told me that the concert will commence at seven p.m.), the hall was already full of people and those who came later have to stand up during the performace (and Alessandro have to check up on these people whether they can still enjoy his performance while standing up or not –this is very sweet of him).

I was so startled when the host introduced Alessandro, that he is so young – twenty two years old – and yet so endowed to compose such beautiful music. He opened the performance by playing Colorful Night, after which he introduced himself to the audience.

After Colorful Night, he continued playing other compositions named The New Millennium, Dolce Pensiero, Un Ricordo dal Cuore, Feel You, Flames of Joy, Da Sempre, Sunday, Along the River Thames and You are Everything.

I was in awe for his music and enjoyed his performance so much that I forgot to take notes for each compositions, though I remembered that Flames of Joy was really captured and described the joy, the melodies was deep in merriness and jubilance and at certain times it was so intensed.

While Da Sempre (which means always) felt like a sad song at the opening – it’s like a man trying to say to the woman he loves that he will always love her no matter what, even if the woman doesn’t love him; but later on the notes felt happier, like he’s relieved to say that because love is the most beautiful thing he feels. I don’t know, maybe I imagined things too much but the piece sounded like that J.

One thing that I like the most about him was after playing his compositions, he stopped for a while and smiled to the audience. His smiles are really contagious – the one that makes you smile widely after seeing him. His smiles told me that he really enjoys playing and composing the music, and that he loved being able to deliver the feelings about the music towards the audience. Sometimes he spoke for a couple of words, telling us that he hopes the audience enjoyed his performances.

After Da Sempre, Sunday really felt like Sundays, it was playful and refreshing at first and soft later like you have spent the beginning of the day by having fun with your loved ones, doing all the things you like, stopping from the daily routines and take a rest before you commence the busy week ahead.

Along the River Thames brought me on a nostalgic walk along the river, it’s like you have so many memories, one blinked another one away, memories you like to remember for the rest of your days and memories that you want them to be forgotten but can’t.

Closing the exquisite performances was You are Everything. He really played this one like a man in love, soft yet full of feelings. He described the feeling into a euphonious and mellifluous piece.

He hid for a while after finishing the song, but came back in no time to play two compositions for his encore. Then he thanked the audience for showing up, and promised us that he will be back soon, hopefully with the orchestra because it feels different, enjoying the piano solo and the one with full orchestra. 

The audience (and that including me, as well) was very entertained by his performances that some gave him standing ovation. Afterwards the host closed the event by thanking all of us and telling us that there are some pizza and coffee or tea (a la Indonesia) waiting for us.

I was really glad that I can make it to the event, it was really a refreshment for me. The host said that they have the upcoming event which combines ballet and opera titled Traviata and will be performed by the group Artemis Danza. It will be held on June 14th but the tickets are available now at kiostix.com. I think I’ll join this one, too! J

Arrivederci!

Life Goes On

It’s been quite a while, almost one and a half year since the last time I updated my blog.
I’ve been doing lots of stuff that required most of my time so I haven’t got the time to post my writings 😦

Now here I am, going to post my writings, and will be more focused on art and cultural events, work and the writing club that I joined.

See you on the next posts! 🙂

Sokola Rimba

Menurut gue, film Indonesia sekarang ini makin maju. Idenya oke, garapannya juga maksimal dan gak terus-menerus pake genre cinta-cintaan gitu.

Salah satu yang berhasil gue tonton sebelum diturunin dari layar adalah Sokola Rimba. Iya, bener, film ini diangkat dari buku hasil pengalamannya Butet Manurung sewaktu jadi guru untuk orang-orang rimba di pedalaman Jambi.

Sayang, film ini sepertinya kurang komersil dan kurang laku di bioskop. Mbak-mbak popcorn di bioskop pun sampai agak melongo karena tau gue nontonnya Sokola Rimba. Frankly speaking, awalnya gue sendiri belum terlalu ngeh dengan film ini sampai akhirnya gue baca tweetsnya Ika Natassa. She is my urban role model, very talented and has good taste of everything. Not to mention that she is a banker too, hehe. Jadi waktu dia bilang film ini oke, gue memutuskan untuk nonton. Gue mau mencari perasaan yang sama yang gue dapat sewaktu dulu nonton Cita-cita Setinggi Tanah, Laskar Pelangi dan beberapa film Indonesia berbobot lainnya.

Singkat cerita, film ini cukup keren. Gue kurang bisa membayangkan (berhubung tinggal di kota megapolitan macam Jakarta) ada orang yang bener-bener berdedikasi untuk mengajar orang rimba seperti Butet. Maksudnya begini, untuk masuk ke pedalaman itu butuh waktu tiga jam (!!) naik motor, belum lagi masuk hutan (jalan kaki dan bawa tas besar yang lebih besar daripada badan). Terus, tidurnya di bale-bale, makan daging hasil buruan, cuci baju dan mandi di sungai. Itu seru banget dan keren, tapi, ehem, berat banget.

Meskipun berat, gue suka liat passionnya Butet untuk mengajar. Menurut gue, dia sama kerennya dengan Iskandar Widjaja dan banyak orang lain yang bener-bener fokus dan berdedikasi pada apa yang mereka sukai. That is awesome! Dan waktu adegan Butet terharu pas liat anak didikannya bisa baca surat perjanjian supaya rombong mereka nggak ditipu mentah-mentah, itu adegan yang menyentuh banget.

Dialog yang paling berkesan dari sosok Butet menurut gue adalah waktu dia bilang bahwa pendidikan bukan semata-mata mengajar baca-tulis tapi juga bagaimana mempersiapkan mereka (orang rimba) untuk bisa mengadvokasi hak mereka, dan bagaimana mereka bisa beradaptasi dan bertahan hidup di tengah desakan pembangunan.

Jadi kesimpulannya, gue bersyukur bisa nonton film ini.
Btw, kalau nggak salah dua tahun terakhir ini ada program Indonesia Mengajar yang digagas Pak Anies Baswedan. Program satu tahun mengajar di pelosok Indonesia. It must be a life-changing experience, but I don’t think I’m qualified.

That Orange which Tempted Me

Ehem.
So, yeah, a few days ago I bought a book which titled, Your Journey to be the Ultimate U 2.
Awalnya gak berniat beli apa-apa karena tujuannya cuma untuk nemenin kembaran gue liat-liat, tapi yah berhubung itu toko buku, nggak mungkin juga kalau gue gak beli apa-apa, hehe. Singkat cerita, waktu gue liat-liat sana sini itu mata gue tertuju pada sebuah buku mencolok berwarna oranye, dan yang makin bikin gue tertarik adalah di depannya ada post-it yang ada tulisannya,

´The Ultimate Me:
Good Food
Amazing Stories
Awesome Chat
Hugs from My Loved Ones
& Books
-Rene’

And I thought, “Wow, this is so me.” Syukurlah karena ada buku yang udah dibuka bungkusnya, jadi gue bisa baca sedikit dan memutuskan untuk beli atau nggak. (Iya, gue penganut paham don’t judge a book by its cover, jadi meskipun covernya keren and really teased me to buy this book, gue coba ngecek dulu, hehe.)

After a few pages…I decided to buy this book.

Ternyata isinya memang semenarik covernya yang ngejreng itu, dan yang lebih menggoda gue lagi, buku ini banyak gambar and it tickled my creativity. I want to do something with this book. Kalimat-kalimat dalam buku ini sangat menginspirasi, dan gue gak malu mengakui bahwa kadang gue butuh ‘dicubit’ sedikit supaya sadar bahwa hidup gak melulu soal kerjaan dan ambisi. There’s more to it.

Nah, setelah baca chapter pertama, I decided to spare some time to begin writing. Mungkin nggak sebagus dulu, tapi setidaknya gue bisa mulai mengasah kemampuan menulis lagi. Seperti kata seorang penulis yang memplesetkan kata-katanya Descartes, j’ecris donc je suis. I write therefore I am.

Atau, kalau kata Rene, writing is about leaving our footprints in life – it’s about our legacy. Ditambah dengan katanya Bapak Blogger Indonesia @enda, apapun yang kita tulis di dunia maya bisa jadi akan abadi dan merupakan rekam jejak kemanusiaan paling nyata.
Semper letteris mandate – Sic transit gloria mundi.

So, yeah, my journey is about to begin.

#UFE2013 , Persembahan Tahunan @PermataHatiCSR untuk Pendidikan di Indonesia

IMG02220-20130616-1019

Mulai dari sini!

Jadi, sebetulnya kenapa saya bisa sekalian merasakan Car Free Day adalah karena saya dan teman saya ingin mengunjungi #UFE2013 – Unite for Education 2013 yang diadakan oleh Permata Bank di pelataran EX Plaza. Acara ini bersifat tahunan dan kali ini Permata Bank bekerja sama dengan berbagai komunitas pendidikan dan korporasi yang peduli dengan pendidikan.

IMG02207-20130616-0944

Suasana di pelataran EX Plaza, ramai ya? 🙂

Sayangnya, saya dan teman saya tiba sekitar pukul sembilan lewat, jadi kami banyak melewatkan acara yang mengesankan. 😦 #UFE2013 ini ternyata sudah dimulai dari pukul setengah tujuh pagi, dan diawali dengan Fun Walk and Run! Saat saya menuju pelataran EX, ada banyak orang-orang, tua muda, memakai kaos putih dengan pinggiran lengan berwarna hijau yang mencolok perhatian saya.

Saat saya melewati pintu masuk, ada beberapa booth yang memamerkan beberapa komunitas pendidikan (seperti green_voices, IndonesiaMengajar, 1000buku, dan Red Nose Foundation). Ada juga arena bermain anak, spot untuk mengabadikan foto yang unik, dan dua papan hitam yang ditempeli hasil tulisan writing competition yang diikuti oleh anak-anak SD.

Komunitas Pendidikan

Di karnaval pendidikan Unite for Education ini, ada beberapa booth komunitas pendidikan yang saya sambangi, di antaranya adalah Green Voices dan Indonesia Mengajar.

Menurut Mbak Khaira (salah satu fasilitator di sini), Green Voices adalah bagian dari Komunitas Sekolah Alam Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak-anak melalui lagu. Anak-anak zaman sekarang tidak memiliki kemewahan berupa lagu-lagu yang sesuai dengan kondisi mereka, berbeda sekali dengan tahun 90an lalu. 🙂 Green Voices memiliki program mulai dari TK hingga SMA, lho. Mereka ini telah menelurkan tiga buah album yang (salah duanya) berjudul ‘Berjuta Bintang’; ‘Love Indonesia’, dan dua di antaranya berhasil meraih penghargaan. Tadi pun anak-anak dari Green Voices sempat menampilkan karya mereka yang memukau. Sayang sekali foto bersama pembimbing di Green Voices ini terhapus. 😦

IMG02213-20130616-1010

Foto dulu habis ngobrol-ngobrol di booth Indonesia Mengajar 🙂 Kakak-kakak officer ramah banget!

Saya juga berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan para officer dari Indonesia Mengajar mengenai gerakan yang digagas oleh Anies Baswedan ini. Baru beberapa hari yang lalu pengajar muda diberangkatkan menuju pos masing-masing untuk setahun mengabdikan dirinya untuk menebar inspirasi dan motivasi bagi anak-anak di pelosok. Saya suka sekali dengan tagline yang diusung Indonesia Mengajar ini, setahun mengajar; seumur hidup menginspirasi. Memang pengalaman selama setahun itu akan menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan. Senang rasanya melihat masyarakat juga turun tangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kabarnya, gerakan ini juga menjadi katalisator gerakan serupa untuk membenahi pendidikan yang ada. Semoga ke depannya, pendidikan di Indonesia semakin baik dan semakin merata, ya!

IMG02215-20130616-1012

Booth 1000buku, di sini kamu bisa drop buku yang ingin kamu donasikan! 🙂

IMG02214-20130616-1011

Kakak dari Red Nose Foundation sedang asyik memberikan penjelasan kepada pengunjung 🙂

Selain itu juga ada gerakan 1000 buku untuk membantu distribusi buku yang mendidik di seluruh Indonesia, dan Red Nose Foundation – yayasan pendidikan yang mensponsori anak-anak untuk melanjutkan pendidikannya dan berbagai aktivitas lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia.

IMG02210-20130616-0958

Ini dia, tulisan para finalis Writing Competition! Semuanya keren-keren!

Di dua papan hitam ini, dipajanglah hasil tulisan beberapa siswa SD yang berhasil menjadi finalis dalam Writing Competition yang menggambarkan bagaimana harapan mereka terhadap pendidikan di Indonesia di masa datang. Tulisan yang sarat dengan harapan dan semangat yang menggebu-gebu itu menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk generasi muda bangsa ini! Selamat untuk para finalis dan pemenang, ya :))

IMG02219-20130616-1015

Penampilan yang sangat menghibur 🙂

Oh ya, dalam acara ini, Project Pop juga sempat menghibur para pengunjung dengan lagu-lagunya yang populer. Banyak juga pertunjukan yang disuguhkan yang berasal dari komunitas pendidikan yang berpartisipasi dalam karnaval pendidikan ini. Salah satu hiburan yang sempat saya saksikan adalah melihat anak-anak yang menggebuk ‘drum’ dan perkusi dengan irama yang menyenangkan.

Nah, selesai sudah #UFE2013 ini! Semoga ke depannya semua anak-anak bisa memperoleh pendidikan yang layak! 🙂

 

A Half Day with Papa

October 12, 2012

Thanks to the company where I had my internship program, this time I can spend more time with my dad.

This is the best quality time that I have ever had with my dad. We just met once or twice a year, and despite for everything that happened in the past, now I found myself closer to my dad in a whole new level.

Yesterday was the best time I have ever spent in my journey with Transjakarta, because my dad asked me to accompany him to “try” using the Transjakarta. I felt like a tour guide with a beloved curious tourist beside me. And during the journey, we shared many things together. I don’t remember when was the last time we talked that long.

My dad told me that he spent a hard time before he was called back to work at the company he works currently. He also told me that he is proud of me (and my twin) for the life I live now. Even though we are far from our parents, but that doesn’t makes us to be irresponsible.

As far as I concern, this life taught me how to be strong, tough and grateful though things are not happening the way we think they should be.

My dad said that success is a process. That’s okay if we are living a hard, difficult, tiring life right now. Keep fighting for the future, because as long as we work hard, work smart and pray to God, eventually God will see our struggle and we will find success. Beside, when we already experienced a hard life, everything will become easier for us. We will not be afraid to experience hard times, because we are trained to pass through them.

And there, about integrity. Living a hard life will teach us to be a man/woman with integrity. We will respect and appreciate things more than if we just living an “easy” life. And also, never forget to involve God in everything we do. We are nothing without Him.

That was the best time I have ever had with my dad. Though most of the time you were not there when I need, thank you for motivating and supporting me, dad. I thanked God because He gave me the chance to talk that much with you. I hope we will have more time to spend in the future.

Lots of love,

B

 

Women, and Their Love for High Heels

Kalau Lamborghini bikin stiletto, hasilnya keren banget gini ya! *mupeng*

 

Jadi ini tiba-tiba terinspirasi buat nulis tentang high heels karena rasa kangen gue ke high heels yang udah sekian lama mendem di kotak, dan akhirnya baru tadi pagi gue pake lagi. 😀

Pernah bertanya-tanya kenapa cewek suka banget pake high heels meskipun seringkali pake high heels tuh banyakan nyusahinnya ketimbang enaknya?

Nah, di sini gue sedang berusaha menganalisis kenapa cewek (include me) suka pake high heels.

1. High heels make women look sexier

Well, cowok-cowok pun bisa mengakui hal ini, right? Sepatu hak tinggi itu bisa bikin kaki terlihat lebih jenjang nan indah, yang ujungnya membuat si cewek jadi terlihat lebih seksi. Asal ga salah tempat aja sih (misalnya, pergi ke pasar pake high heels. 😀 *serius, gue pernah liat lho!*) 

Aura feminin cewek pun jadi lebih terpancar kalo pake high heels. Bukan berarti pake flats, wedges, mary janes etc ga bikin feminin lho. There are still other factors, tp yah imho..kalo gue pake high heels berasa jadi lebih “cewek” hehe.

2. High heels make women more confident

This happened to me, for real. How come high heels make women more confident?

Yeah, right. High heels are the height booster. 🙂 Jadi dengan tinggi sekitar 155-something (makanya masih sering dikira anak sekolah, lol.) akan sangat membantu kalo gue pake high heels. Secara ini tinggi badan udah nggak bisa numbuh lagi. Cara instannya adalah pake high heels. Let’s say gue pake high heels 10cm (biasanya sih 9 cm doang) nah dengan si high heels ini, tinggi gue yang tadinya 155-something bisa jadi 165-something. Udah ideal kan? Terlihat lebih tinggi itu bisa bikin cewek lebih pede, imho. That’s why gue pake high heels kalo lagi presentasi.

3. High heels make women more powerful

Dari poin kedua tadi, selain bikin cewek lebih pede, high heels juga membuat cewek terlihat lebih powerful. Alasannya? When I’m taller than I am now, I can see things better and somehow, it creates an illusion that I can handle everything. Everything’s under control. Meskipun bukan berarti kalo pakenya sneakers or flats ga bisa handle, lho.  

Karena menurut gue sometimes equality matters. Maklum ya, rata-rata orang seumuran gue sekarang ini jangkung-jangkung banget. (Mungkin waktu bayinya dikasih makan galah atau egrang kali ya? :D) Nah dengan pake high heels, setidaknya beda gue dan temen-temen gue jadi nggak terlalu jomplang.

So, I think that’s it. Those are the reasons why women love to wear high heels according to my humble opinion.

Padahal sih, kalo ke mana-mana, gue prefer pake sneakers daripada high heels. Bayangin aja dengan kondisi jalan di Jakarta yang you know lah, pake high heels bisa-bisa keseleo. Bukannya keliatan cantik malah sakit. Gue pernah pake wedges seharian, naik Transjakarta mondar-mandir karena harus ketemu klien di Kuningan, dan hasilnya? Pulang-pulang telapak kaki sampe betis pegel banget dan sakit-sakit. Baru wedges, gimana kalo high heels? *gak berani bayangin*

Yah, kadang-kadang menjadi cantik itu butuh pengorbanan ya. 🙂

Btw, Blahnik sama Louboutin itu keren banget ya.. *hanya bisa menatap dari jauh, lol.*

*Disclaimer: tulisan ini hanya merupakan corat-coret iseng di tengah keharusan menulis skripsi; tanpa bermaksud menggeneralisasi dan hanya melihat berdasarkan sudut pandang subjektif si penulis.

*This writing originally came from my Facebook Notes, and it is written on Sep 23, 2012*